Pada Mei 2024, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menetapkan enam mantan General Manager Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Aneka Tambang Tbk (Antam) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan emas periode 2010-2021. Para tersangka tersebut adalah TK (2010-2011), HN (2011-2013), DM (2013-2017), AH (2017-2019), MAA (2019-2021), dan ID (2021-2022).
Modus operandi yang dilakukan para tersangka melibatkan penyalahgunaan wewenang dalam layanan manufaktur, termasuk peleburan, pemurnian, dan pencetakan logam mulia. Mereka secara ilegal melekatkan merek Logam Mulia (LM) Antam pada emas milik swasta tanpa kontrak kerja resmi dan tanpa perhitungan biaya yang seharusnya dibayarkan. Akibatnya, selama periode tersebut, tercetak sekitar 109 ton emas dengan merek Antam yang diedarkan di pasar bersamaan dengan produk resmi PT Antam, sehingga menggerus pangsa pasar dan merugikan perusahaan.
Selain itu, pada Juli 2024, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka tambahan dari pihak swasta yang diduga terlibat dalam kasus ini. Para tersangka ini, termasuk LE, SL, SJ, JT, GAR, DT (Direktur Utama PT JTU), dan HT, merupakan pelanggan jasa manufaktur logam mulia PT Antam. Mereka diduga bersekongkol menyalahgunakan jasa manufaktur dengan melakukan pemurnian, peleburan, dan pencetakan emas menggunakan merek PT Antam tanpa adanya kerja sama resmi. Estimasi logam mulia yang diproduksi secara ilegal mencapai 109 ton emas, dengan nilai kerugian negara ditaksir mencapai Rp1 triliun.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia, serta penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.

0 Komentar