Selong, 15 Oktober 2025
Program pemerintah pusat kembali menggulirkan jargon baru dalam dunia pendidikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda publik dibuat bertanya?
apakah ini benar-benar langkah menuju pemerataan pendidikan, atau justru babak baru dari politik pemisahan sosial yang diselimuti bahasa pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan?
Kedua program ini seolah diletakkan sebagai solusi terhadap kesenjangan kualitas sekolah di Indonesia.
Namun di balik retorika kemajuan, tersembunyi bahaya ideologis, upaya melembagakan perbedaan sosial sejak usia dini,
menempatkan anak-anak bangsa dalam dua ruang pendidikan yang berbeda. satu bagi mereka yang “dibina”, dan satu lagi bagi mereka yang “diunggulkan”.
Padahal, Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) dengan tegas menyatakan:
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Dan ayat (2) menegaskan:
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Lebih jauh, ayat (3) menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”
Artinya, konstitusi telah mengamanatkan bahwa sistem pendidikan Indonesia harus satu, tunggal, dan egaliter tidak boleh ada dikotomi antara “sekolah rakyat” dan “sekolah garuda”, antara si miskin dan si kaya, antara mereka yang diajarkan untuk patuh dan mereka yang dipersiapkan untuk memimpin.
*Pendidikan Nasional Sedang Kehilangan Arah*
Anggaran pendidikan nasional yang menurut amanat konstitusi minimal 20% dari APBN dan APBD semestinya digunakan untuk memperkuat sekolah reguler yang sudah ada. memperbaiki fasilitas, menambah tenaga pendidik, meningkatkan gaji guru honorer, dan memperluas akses bagi daerah tertinggal.
Sekolah negeri reguler di banyak daerah masih bergulat dengan ruang belajar rusak, kekurangan guru, dan kurikulum yang tak konsisten.
Sekolah swasta, yang semestinya menjadi mitra, justru terbebani biaya operasional yang memaksa rakyat kecil membayar mahal untuk sekedar bersekolah.
Alih-alih memperkuat fondasi sistem yang sudah ada, memperbaiki kualitas guru, memperluas akses, dan mensejahterakan tenaga pendidik. negara justru memilih membangun “simbol baru” dengan label populis.
Kita menyaksikan bagaimana politik pencitraan pendidikan menggeser ruh pendidikan sebagai hak rakyat, menjadi sekadar proyek politik jangka pendek.
Jika kebijakan ini dibiarkan, maka yang tercipta bukanlah keadilan sosial, melainkan stratifikasi pendidikan yang mengancam keutuhan bangsa.
Pendidikan tidak lagi menjadi ruang penyama derajat, tetapi menjadi cermin dari ketimpangan sosial yang dilegalkan oleh negara.
*Generasi Emas 2045, Antara Janji dan Imitasi*
Pemerintah kerap menggaungkan visi Generasi Emas 2045, generasi yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing global. Namun bagaimana generasi emas bisa lahir dari sistem yang memisahkan anak-anak berdasarkan ekonomi keluarganya?
Bagaimana mungkin semangat 100 tahun kemerdekaan bisa kita sambut dengan bangga, jika sejak dini kita sudah menciptakan “kelas sosial baru” di ruang pendidikan?
Generasi emas tidak bisa dibangun dari sistem yang elitis dan diskriminatif. Generasi emas hanya bisa lahir dari pendidikan yang membebaskan, inklusif, dan memerdekakan pikiran rakyat.
Bukan dari sistem yang mengajarkan sebagian untuk menjadi pemimpin dan sebagian lainnya untuk menjadi pengikut setia.
Pendidikan Adalah Hak, Bukan Proyek Politik, Pasal 31 UUD 1945 bukan sekadar kalimat dalam konstitusi.
Ia adalah kontrak moral antara negara dan rakyat.
Ketika pendidikan dikomersialisasi, dikapitalisasi, atau dipolitisasi, maka negara sedang mengkhianati janjinya sendiri kepada rakyat Indonesia.
Negara seharusnya hadir untuk memastikan setiap anak tanpa melihat ekonomi, asal daerah, atau latar sosial mendapat kesempatan belajar dalam lingkungan yang sama bermartabatnya. Bukan menciptakan label yang memperlebar jurang sosial di bawah bendera kemajuan.
Sebagai bagian dari masyarakat akademik, kami dari BEM ITSKes Muhammadiyah Selong menilai kebijakan pendidikan seperti ini tidak sejalan dengan cita-cita kemerdekaan dan nilai-nilai negara wajib menjelaskan secara terbuka sumber, alokasi, dan dampak anggaran pendidikan dari setiap program baru.
"Jangan sampai dana publik yang seharusnya memperkuat sekolah reguler, justru tersedot untuk proyek eksperimental yang penuh pencitraan."
Pendidikan adalah hak rakyat, bukan lahan eksperimen politik. Setiap rupiah anggaran harus kembali pada kepentingan rakyat kecil. bukan untuk membangun sekolah berlabel elit, tetapi untuk memastikan semua anak bisa duduk di bangku yang sama bermartabatnya.
Kami percaya bahwa pendidikan sejati adalah alat pembebasan bukan alat seleksi sosial.
Negara harus kembali pada ruh konstitusi, membangun satu sistem pendidikan nasional yang berkeadilan, berpihak pada rakyat, dan membentuk manusia merdeka.
Dikeluarkan di Selong, 15 Oktober 2025
Menteri Luar Negeri
BEM ITSKes Muhammadiyah Selong

0 Komentar